Periklanan dan Etika
1.1 Pengertian Periklanan dan Etika
Periklanan merupukan hal yang
tak dapat dipisahkan dalam dunia bisnis. Sebagaimana yang dikemukakan Munandar
dan Priatna (2005: 7) bahwa periklanan merupakan salah satu bentuk promosi yang
paling banyak digunakan perusahaan dalam mempromosikan produknya. Sedangkan
menurut Fandy Tjiptono (2005: 226) mengemukakan bahwa iklan adalah bentuk
komunikasi tidak langsung yang didasari pada informasi tentang keunggulan atau
keuntungan suatu produk, yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa
menyenangkan yang akan mengubah pikiran seseorang untuk melakukan pembelian.
Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut periklanan merupakan sebuah
alat bagi perusahaan untuk meningkatkan penerimaan/ penjualan. Tanpa adanya
periklanan yang baik maka perusahaan akan
kesulitan untuk mempromosikan produknya secara efektif dan efisien dalam rangka
memperoleh keuntungan dan mencari pelanggan.
Sedangkan etika merupakan suatu
nilai baik atau buruk, pantas atau tidaknya suatu hal yang berkenaan dengan
aktivitas manusia. Sebagaimana yang dikemukakan K. Berteins (1994) bahwa etika
adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai
pertimbangan niat baik atau buruk sebagai sebagai akibatnya.
Berdasarkan dua definisi
tersebut, “periklanan dan etika” maka periklanan mempunyai keterkaitan dengan
etika. Etika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang
moral di mana dalam dunia perbisnisan, moral menjadi sebuah hal yang tidak
dapat dikesampingkan karena berkaitan dengan budaya masyarakat. Karena
masyarakat berperan sebagai objek penjualan, periklanan perusahaan hendaknya
dapat diterima oleh masyarakat dan masyarakat bersedia untuk membeli produk
atau mempercayai jasa perusahaan tersebut.
1.2 Fungsi Periklanan
a.
Informing,
adanya iklan membuat konsumen sadar (aware) akan merek-merek baru, mendidik
mereka tentang berbagai fitur dan manfaat merek, serta menfasilitasi penciptaan
citra merek yang positif.
b.
Persuading,
iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba
produk dan jasa yang diiklankan.
c.
Reminding,
iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen.
d.
Adding
value, periklanan memberi nilai tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi
konsumen
1.3 Periklanan dan
Kebenaran
Periklanan menjadi ajang suatu bentuk promosi
atas suatu barang maupun jasa yang akan ditawarkan kepada masyarakat,
periklanan dinilai paling ampuh untuk menarik minat konsumen untuk membeli
sesuatu yang telah ditawarkan. Selain itu, periklanan juga menunjukkan kepada
konsumen seberapa bagus suatu perusahaan, semakin spektakuler dan lama iklan
tersebut akan semakin bagus produk tersebut dan begitu juga sebaliknya.
Seringkali periklanan juga menunjukkan persaingan antar perusahaan dengan
menunjukkan produk yang sejenis. Periklanan tidak seratus persen yang
diinformasikan adalah benar, seringkali dalam periklanan terdapat informasi
yang melebih-lebihkan, tidak masuk akal, dan bahkan kebenarannya diragukan oleh
konsumen maupun masyarakat. Iklan terkesan berbohong, menyesatkan dan bahkan
menipu publik, dan hal tersebut tidak etis dilakukan. Kebenaran merupakan hal
terpenting dalam periklanan, apabila tidak ada kebenaran akan merugikan para
konsumen dan akhirnya nama suatu produk tersebut akan turun dan dikecam oleh
masyarakat secara tidak baik.
Dalam buku Etika Bisnis K.Bertens (2015,
287-288) untuk mengetahui hubungan antara periklanan dan kebanaran kita harus
mengerti apa itu berbohong. Berbohong adalah dengan sengaja mengatakan suatu
yang tidak benar, agar orang lain percaya. Selain itu, berbohong merupakan
unsur kesengajaan dan maksud supaya orang lain percaya. Iklan bukan saja
menyesatkan dengan berbohong, tetapi juga dengan tidak mengatakan seluruh
kebenaran, dengan contoh menyembunyikan atau mendiamkan sesuatu yang sebenarnya
penting untuk diketahui oleh para konsumen. Dan kelemahan maupun kekurangan
suatu produk ataupun kelemahan produk satu dengan yang lain, tidak akan dimuat
dalam sebuah periklanan.
Unsur dalam kebohongan yang pertama adalah
unsur kesengajaan. Ada periklanan yang mengatakan suatu informasi yang tidak
benar namun mengetahuinya dan ada juga periklanan yang mengatakan suatu
informasi yang tidak benar, tapi tidak mengetahuinya. Namun hal kedua tersebut
jarang sekali ditemui dan akan terjadi, rata-rata semua periklanan pasti
mengetahui tentang seluk beluk informasi suatu produk maupun jasa yang akan
ditawarkan sebelum menerbitkan sebuah iklan. Jadi, jika terdapat iklan yang
mengatakan suatu informasi kepada konsumen tidak sesuai dengan kenyataan dan
sesungguhnya mengetahui, dapat dikatakan hal ini adalah kebohongan dan
berbohong dalam iklan menunjukkan bahwa perusahaan produk tersebut tidak
memiliki etika berbisnis dalam hal periklanan.
Unsur yang kedua adalah bermaksut supaya orang
lain percaya, dalam buku Etika Bisnis K.Bertens (2015, 289) perlu diperhatikan
pembedaan antara iklan informative dan iklan persuasive, atau antara unsur
informasi dan unsur promosi dalam iklan. Unsur informasi selalu harus benar,
karena informasi selalu diberikan agar orang percaya, sedangkan informasi yang
tidak benar akan menipu public yang dituju. Dan seorang konsumen tidak
mempunyai alasan untuk tidak percaya pada informasi tersebut, karena akan
merasa dibohongi bila informasinya tidak benar.
Selain kedua unsur tersebut, iklan juga memiliki
unsur promosi. Iklan membujuk rayu masyarakat sebagai konsumen untuk segera
membeli, menarik perhatian, mengiming-ngimingi masyarakat dan calon pembeli.
Karena itu, bahasa periklanan menggunakan majas superlative, majas hiperbola
dan memiliki retorika tersendiri. Selalu meng-angungkan, menomor satukan,
terbaik, teratas, menggunakan kata “paling atau ter”, dll. Namun, iklan disini
tidak bermaksut supaya publik percaya sepenuhnya dengan apa yang telah
diinformasikan, melainkan menarik perhatian masyarakat dan calon konsumen
supaya dapat memikat hati dan segera untuk membeli. Dan masyarakat juga harus
mengetahui bahwa bahasa periklanan harus benar-benar dimengerti bukan hanya
langsung percaya begitu saja.
Periklanan dikatakan tidak memiliki etika jika suatu
periklanan berbohong, namun suatu iklan yang karena menipu juga dapat dikatakan
tidak memiliki etika. Kebohongan ataupun penipuan tidak memiliki makna yang
sama dalam penerapannya. Berbohong berkaitan dengan kata-kata dan bahasa, baik
secara tertulis maupun lisan. Sedangkan penipuan memiliki cakupan yang lebih
luas dari berbohong, bisa berlangsung dalam tata bahasa dan kata-kata, tetapi
bisa juga dilakukan dengan cara lain. Penipuan memiliki makna suatu
keberhasilan usaha, yang dalam artiannya secara negatif. Penipuan tidak dapat
dikatakan penipuan jika ada pihak yang menggagalkan maupun digagalkan oleh
calon korban. Hal tersebut merupaka usaha untuk menipu, tapi tidak berhasil
dalam apa yang dikehendakinya.
Suatu iklan yang terdapat dalam media visual
seperti televisi, menampilkan suatu produk yang dapat menimbulkan kesan yang
tidak sesungguhnya, karena adanya calon konsumen dihadapkan pada ilusi opsi dan
sejenisnya yang lain. Sulit untuk membedakan secara jelas manakah iklan yang
memiliki etika dan tidak, susah untuk menarik garis besar perbatasan antara
yang melebih-lebihkan dan berbohong. Untuk menilai moralitas suatu iklan,
terutama calon konsumen harus pintar mengartikan dan menyimak secara baik dan
benar apa maksud dari iklan tersebut. Terkait dengan kebenaran dalam periklanan
menurut buku Etika Bisnis K.Bertens (2015, 291) tidak dapat dipisahkan dengan
cara hitam putih, banyak tergantung pada situasi yang nyata dan kesediaan
public untuk menerimanya atau tidak.
1.4 Manipulasi dalam Periklanan
Sebelum mengetahui hubungan manipulasi dalam
periklanan serta pengaruhnya, harus mengetahui terlebih dahulu apa itu
manipulasi dan bagaimana manipulasi terdapat dalam sebuah periklanan.
Manipulasi merupakan kegiatan mempengaruhi kemauan seseorang (jika dalam dunia
periklanan adalah masyarakat atau calon konsumen) dengan sedemikian rupa untuk
melakukan dan melaksanakan sesuatu yang sebenarnya tidak tentu diinginkan oleh
seseorang. Seseorang tersebut akan mengikuti motivasi yang telah diberikan dan
besaral tidak dari dirinya sendiri, melainkan telah ditanamnya dari pihak luar,
contohnya seperti hipnotis.
Manipulasi dalam periklanan dikatakan tidak
memiliki etika jika melanggar hak asasi manusia, hanya dijadikan sebagai sarana
dan perantara semata. Dalam Etika Bisnis K.Bertens (2015, 292) pada tahun
1950-an bahaya terjadinya manipulasi propaganda politik dan ideology menjadi
momok yang menakuti banyak orang di masyarakat barat, karena waktu itu
berlangsung Perang Dingin. Perang tersebut sebagaian besar merupakan perang
propaganda, propaganda yang memanfaatkan ilmu psikologi. Disaat yang sama dari
sudut ekonomi mengemukakan pendapat tentang periklanan, bahwa upaya periklanan
bersifat manipulative. John Kennth dalam bukunya The Affluent Society
melukiskan bagaimana bisnis modern menciptakan keinginan pada konsumen melalui
upaya periklanan dan kemudian memenuhinya dengan produk-produk tersebut.
Pada umunya periklanan berusaha mempengaruhi
tingkah laku konsumen, dengan cara memanfaatkan faktor-faktor psikologis,
seperti: status, gengsi, dll. Contoh usaha untuk mempengaruhi tingkah laku
konsemen yaitu dengan cara menampilkan sosok idola dalam iklan dan memberikan
hadiah. Sosok idola yang ditampilkan dalam sebuah iklan, dapat mempengaruhi
tingkah laku penggemarnya dalam mengkonsumsi sebuah produk, konsumen akan
membeli apa yang digunakan oleh idolanya, selain itu dengan pemberian hadiah
seperti beli 2 dapat 3, diskon 10%, mendapatkan voucher dll.
Manipulasi melalui periklanan atau dengan cara
bagaimanapun merupakan tindakan yang tidak memiliki etika. Namun, harus
dibedakan secara baik antara mempengaruhi perilaku dan manipulasi. Karena
setiap hari manusia dalam bertingkah laku dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti faktor lingkungan, namun hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
manipulasi, sehingga tingkah laku dalam berkonsumsi seseorang tersebut berasal
dari diri sendiri, keputusan untuk membeli sebuah produk atau tidak dalam
sebuah iklan merupakan kepetusan dari konsumen sendiri.
1.5 Pengontrolan terhadap iklan
Karena kemungkinan dipermainkannya kebenaran dan
terjadinya manipulasi merupakan hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah
adanya kontrol yang tepat mengimbangi kerawanan tersebut.
A.
Kontrol oleh pemerintah
Seperti yang dilakukan oleh Menteri Kesetaraan Inggris
pada produk kecantikan yang beredar di negaranya dimana antara model yang
digunakan pada iklan tersebut kurang sesuai dengan wajah aslinya. Dan di
Indonesia sendiri beberapa Undang-Undang telah ditetapkan untuk melindungi
konsumen terhadap beberapa produk yang menyalahi aturan, diantaranya telah
terdapat iklan tentang makanan dan obat yang diawasi oleh Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
B.
Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis
tentang periklanan adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia
periklanan yang biasanya hal tersebut dilakukan dengan menyusun sebuah kode
etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu
sendiri, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan.
Di Indonesia sendiri terdapat Tata krama dan tata cara
periklanan Indonesia yang disempurnakan (1996) yang dikeluarkan oleh AMLI
(Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa
dan Penyantun Iklan Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Perusahaan Bioskop Seluruh
Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), PPPI
(Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran
Swasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan Yayasan TVRI
(Yayasan Televisi Republik Indonesia).
Sedang di Amerika terdapat National Advertising Review
Board (NARB) yang disponsori oleh American Association of Advertising Agencies,
American Advertising Federation, Association of National Advertisers, dan
Council of Better Bussines Bureaus. Tujuannya adalah pengaturan diri oleh para
pengiklan. NARB ini menyelidiki semua keluhan tentang periklanan dan
memberitahukan hasilnya kepada instansi yang mengajukan keluhannya, dan
kegiatan ini diumumkan juga setiap bulan melalui sebuah press release.
C.
Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus ikut serta dalam mengawasi
mutu etis periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak
hasil dalam menetralisasiefek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan
menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, diantaranya yang terdapat di Indonesia
(Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian Lembaga Pembinaan
dan Perlindungan Konsumen di Semarang).
Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi
batas-batas etika melalui pengontrolan terhadap iklan-iklan dalam media massa,
ada juga cara lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan
memberikan penghargaan kepada iklan yang dinilai paling baik. Penghargaan untuk
iklan tersebut bisa diberikan oleh instansi pemerintah, Lembaga Swadaya
Masyarakat, sebuah majalah, atau lain-lain. Di Indonesia sendiri kita mempunyai
Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh “Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia”. Dan apresiasi tersebut dapat memberikan pengaruh positif
terhadap perusahaan lain untuk dapat berkreasi secara lebih baik.
1.6
Penilaian Etis terhadap Iklan
Suatu penilaian yang diberikan terhadap adanya iklan
tidak lepas dari pemikiran moral. Dalam hal ini prinsip-prinsip etis ternyata
tidak cukup untuk menilai moralitas sebuah iklan karena didalam penerapannya
banyak faktor lain yang ikut berperan diantaranya adalah sebagai berikut:
A.
Maksud si pengiklan
Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya
moralitas iklan tersebut menjadi tidak baik juga. Jika si pengiklan mengetahui bahwa produk yang diiklankan
merugikan konsumen atau dengan sengaja menjelekkan produk pesaing, maka iklan
ini menjadi tidak etis. Sebagai contoh
iklan tentang roti Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa
roti ini bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang
dibandingkan dengan roti merk lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya
diiris lebih tipis. Jika diukur per ons, roti ini sama banyak kalorinya dengan
roti merk lain.
B.
Isi iklan
Isi iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur
yang menyesatkan, dan tidak bermoral. Dalam persaingan yang dilakukan antar
operator seluler Kartu As (Simpati) dan XL, sebagian besar penonton akan
menganggap hal tersebut sebagai sebuah lelucon karena model utamanya merupakan
seorang pelawak, sehingga isi dari iklan tersebut akan mudah ditangkap. Begitu
pula dengan manipulasi yang dilakukan oleh beberapa produk kecantikan, terlihat
bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi pemikiran penonton karena model yang
ditampilkan terlihat ‘sempurna’ dengan produk dan perlengkapan make up yang
digunakan dari produk yang diiklankan.
C.
Keadaan publik yang tertuju
Secara umum bisa dikatakan bahwa periklanan mempunyai
potensi besar untuk mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam masyarakat dengan
memamerkan sikap konsumerisme dan hedonisme dari suatu elite kecil. Hal ini
merupakan aspek etis yang sangat penting, terutama dalam masyarakat yang
ditandai kesenjangan sosial yang besar seperti Indonesia. Keuntungan perusahaan
menjadi tujuan utama bagi para pengiklan untuk melalukan promosi, namun di sisi
lain televisi sebagai media utama yang banyak digunakan para pengiklan adalah
media yang tidak gampang dikendalikan dari luar, ditambah dengan adanya
televisi dan parabola. Mungkin tidak realistis juga untuk mengharapkan bisa
melarang periklanan di TV secara total. Tetapi bahaya ditingkatkannya
kecemburuan sosial tidak pernah boleh dilupakan. Hal ini ternyata seringkali
masih kurang disadari oleh televisi swasta.
D.
Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu
tradisi. Dalam tradisi tersebut orang telah terbiasa dengan cara tertentu
disajikannya iklan. Sudah ada aturan main yang disepakati secara implisit atau eksplisit
dan yang seringkali tidak dapat dipisahkan dari etis yang menandai masyarakat
tersebut. Misalnya saja yang terjadi di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai
biasa saja sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang
mengernyitkan alisnya. Dalam refleksi etika tentang periklanan rupanya tidak
mungkin dihindarkan suatu nada relativistis.
1.7 Contoh kasus periklanan etika
Dalam
periklanan, etika berperan penting bagi pebisnis agar terjadi iklim persaingan
yang kondusif (persaingan yang sehat) sehingga bisnis bukan hanya sebagai suatu
usaha dalam rangka mendapatkan keuntungan di pihak perusahaan melainkan tetap
memperhatikan kepentingan konsumen dalam hal ini konsumen berhak untuk
mendapatkan manfaat dari iklan tersebut. Namun, kadang kala banyak perusahaan yang
mengesampingkan hal itu bahkan untuk kasus yang parah hingga membahayakan
keselamatan konsumen. Berikut beberapa contoh kasus etika periklanan di
Indonesia yang melanggar EPI (Etika Pariwara Indonesia)
A. Periklanan Maskapai Garuda Indonesia
Pada kasus ini periklanan dari maskapai
melanggar nilai hukum etika dan komunikasi
bisnis dalam pemasaran yaitu pada iklan pesawat maskapai Garuda Indonesia.
Dalam iklan maskapai pesawat Garuda Indonesia ini dapat dilihat bahwa iklan ini
telah menampilkan perbandingan antara produk atau keunggulan yang menjadi ciri
khas maskapai pesawat Garuda Indonesia dengan kelemahan dari produk barang dan
jasa dari maskapai lain dengan tujuan untuk menjatuhkan dan merendahkan produk
maskapai lain. Walaupun iklan yang sudah dibuat dengan strategi iklan yang
sudah bagus, akan tetapi pesan di dalamnya akan menimbukan masalah pada produk
lain. Dalam Strategi iklan maskapai pesawat Garuda Indonesia menunjukkan bahwa
kenyamanan dari konsumen ketika sedang dilayani dengan maskapai Garuda
Indonesia yang menjadi sumber utama bagi mereka, akan tetapi dengan menggunakan
produk pesaing yaitu maskapai pesawat yang lain merupakan salah satu
pelanggaran etika dalam beriklan. Dalam salah satu prinsip etika yang
diatur di dalam EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa “Iklan tidak boleh
merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung”
B. Periklanan So Nice
Dalam kasus ini iklan So Nice So good telah melanggar peraturan dan prinsip
dalam Perundang-undangan. Iklan ini tidak memperhatikan etika dalam berbisnis
dimana terselip kata persuasif “mereka yang mengkonsumsi produk yang diiklankan
akan tumbuh lebih tinggi daripada yang tidak”. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
makna atau informasi yang tidak benar. Kasus ini membuktikan bahwa telah
terjadi pelanggaran dalam proses promosi serta melanggar hak-hak konsumen
mengenai hak untuk mendapat informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagaimana diatur dalam EPI
bahwa “Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu
produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan”
DAFTAR PUSTAKA
K.BERTENS. 2013. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta:Kanisius
Ritonga, Erni. 2010. http://erniritonga123.blogspot.co.id/2010/01/definisi-etika.html
(Diakses 9 April 2017)
Saragih, Yuli Irani. 2015. http://yuliiranis.blogspot.co.id/2015/12/pelanggaran-etika-pada-iklan-garuda.html (Diakses 9 April 2017)
Anonim. 2017. https://communicationista.wordpress.com/2009/07/01/fungsi-dan-peran-iklan/
(Diakses 9 April 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar